Senin, 14 September 2009

Biografi Gamawan Fauzi

Gubernur Sumatera Barat penerima Bung Hatta Award 2004, saat menjabat Bupati Solok. Dia seorang pejabat yang konsisten menegakkan aturan dan tidak korupsi. Namun, dia sendiri merasa penghargaan itu sangat berat dan mungkin saja belum pantas. Lulusan FH Universitas Andalas Padang (1982) itu menapak karier mulai dari staf biasa di Kantor Ditsospol Pemprov Sumatera Barat.

Setelah sempat sebagai sekretaris pribadi Gubernur Sumbar, secara mengejutkan dalam usia 36 tahun ia dipercaya sebagai Kepala Biro Humas Pemprov Sumbar. Dianggap mengejutkan karena pada era itu tak lazim, seorang staf dan pegawai negeri sipil (PNS) yang golongannya III C menjabat kepala biro yang biasanya posisi ini diisi pejabat bergolongan IV A atau III D senior.
Namun, baru satu setengah tahun sebagai kepala biro humas, pada 2 Agustus 1995 Gamawan Fauzi terpilih menjadi Bupati Solok. Komitmen dan konsistensinya dalam menegakkan aturan dan antikorupsi membuat ayah tiga putra-putri ini bisa mulus melewati eforia reformasi sehingga pada 20 Agustus 2000 secara demokratis terpilih kembali memangku jabatan Bupati Solok periode kedua.
"Jujur saya katakan, tak ada satu sen pun saya keluar uang untuk meraih jabatan kedua kali sebagai Bupati Solok. Silakan tanya anggota DPRD yang memilih saya. Sejak awal masa jabatan sampai era reformasi sekarang, alhamdulillah tak sekalipun saya didatangi para pengunjuk rasa, demonstran, atau orang-orang yang memprotes kebijakan saya," kata Gamawan

Gamawan Fauzi yang menikah dengan Vita Nova, 12 Oktober 1984, dikaruniai tiga anak masing-masing Idola Prima Gita (19), mahasiswi di Padang; Gina Dwi Fachria (17), pelajar SMA; dan satu-satunya anak lelaki Gian Gufran (13), pelajar kelas III SMP negeri di Padang.
Ia mengaku sejak dari awal sudah mewanti-wanti dan mendidik untuk hidup sederhana, memakan dan menikmati apa yang menjadi hak dan yang halal.
"Istri saya itu anak seorang pejabat tinggi di Sumatera Barat. Ke mana-mana, misalnya kuliah, ia diantar mobil sendiri dengan sopir pribadi. Pokoknya, dia itu anak orang terpandang yang saat itu sudah hidup berkecukupan. Saya mungkin tergolong nekat karena sehari setelah menikah saya langsung boyong istri ke rumah kontrakan. Tidak itu saja, saya pun biasakan dia membonceng dengan sepeda motor ke mana-mana karena memang itu yang saya punya. Tetapi, akhirnya semua jadi terbiasa sampai sekarang," kata Gamawan.

Tiga anaknya juga dibentuk seperti itu. Dari awal, ia sudah ingatkan bahwa jabatan bupati yang diembannya hanya titipan sementara. Kapan pun, ini akan berakhir.
"Ternyata anak-anak saya juga merasa biasa-biasa saja. Biar Bapaknya jadi bupati, dapat penghargaan dan lainnya, hidup dan keseharian mereka tidak ada beda dengan anak-anak yang lain. Jajannya di sekolah tak beda dengan anak temannya. Sama kok, lihat saja Idola Prima Gita, jajannya Rp 6.000 sehari, Gina Dwi Fachria dapat sangu Rp 5.000 sehari, dan si bungsu Gian Gufran Rp 3.000 per hari".
Begitu pula kekuarga yang lain. Orangtuanya, ayah Haji Dahlan Saleh Datuak Bandaro (almarhum) dan ibu Hajjah Syofiah Amin (75), selama ini selalu berperan sebagai "pengawas" atau “inspektur" yang paling tegas. Karena ayahnya sudah meninggal, ibunya mengambil alih peran "inspektorat" tersebut, tetap mengawasi dan mengingatkan agar selalu ingat Tuhan, peduli dengan sesama, serta tidak bertindak dan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ketika ia terpilih untuk kedua kali jadi Bupati Solok tahun 2000 dan juga waktu mendapat penghargaan Bung Hatta Award, ibunya mengingatkan agar sujud syukur. Berdoa agar selalu dilindungi Allah, juga tidak sombong dan takabur serta hanya memakan rezeki yang halal, bukan hidup dengan mengambil hak orang lain. Ibunya selalu mengingatkan ini.

Sampai kini ia hanya punya satu mobil pribadi, jenis sedan keluaran tahun 1995. Mobil ini pun bukan beli baru, tetapi hasil lelang mobil dinas Pemkab Solok yang di-dump dengan persetujuan DPRD. "Saya tidak punya yang lain. Silakan cek ke siapa saja, termasuk ke pejabat Pemkab Solok dan DPRD," katanya.
Terus terang, soal kendaraan ini ia tetap merasa bukanlah pejabat yang betul-betul sudah menjalankan aturan dengan benar, termasuk setelah menerima Bung Hatta Award yang lalu. "Buktinya, kalau ke kondangan atau berkunjung ke tempat keluarga, saya masih memakai mobil dinas. Padahal, itu kan sebetulnya urusan pribadi bukan dinas sebagai bupati. Jadi, kalau saya dikatakan bupati yang taat aturan, jujur atau apa pun namanya, saya rasa tidak juga. Lihat saja soal pemakaian kendaraan dinas tadi," ujarnya.
Hingga sekarang dia hanya punya satu rumah di kompleks perumahan pemda di Padang. Rumah ini dibeli jauh sebelum jadi Bupati Solok, yaitu ketika masih sebagai staf di kantor gubernur. Rumah ini dulunya juga kredit.
"Nah, tentang rumah ini, saya sekarang jadi bingung. Kondisinya sama sekali tidak bisa ditempati karena sudah bocor dan rusak. Sebetulnya, saya mau merehab dengan uang tabungan yang saya punya sekitar Rp 200 juta. Uang ini berasal dari tunjangan jabatan saya sebagai bupati yang ditabung setiap bulan sejak bulan-bulan pertama jadi bupati," katanya.
Lebih lanjut soal rumah yang bocor dan rusak berat itu, ia bilang, kalau saya perbaiki dengan uang tabungan tersebut sebetulnya boleh-boleh saja. Tetapi, ia berpikir jangan-jangan ada orang yang sirik dan merasa tidak enak hati. Karena itu, rumah pribadinya ini sampai sekarang masih dibiarkan rusak.

Tetapi resikonya, kalau ia sedang tidak berdinas dan berlibur dengan keluarga di Padang, terpaksa menumpang di rumah saudara. Kebingungannya pun makin memuncak karena beberapa bulan lagi jabatan bupati berakhir dan harus ke luar dari rumah dinas, kembali ke rumah pribadi. "Lha, saya jadi bingung sekarang nanti sekeluarga mau numpang tidur di mana?" ujarnya.
Ketika berbincang dengan Kompas di Padang, Jumat (8/10/2004) malam, lelaki kelahiran 9 November 2004 itu tampil santai, jauh dari kesan birokrat. Menggunakan kemeja lengan pendek dan bersepatu tanpa kaus kaki, Gamawan tampak bersemangat ketika pembicaraan lebih difokuskan pada berbagai persoalan besar di negara ini.

Mulai dari soal penanganan korupsi yang sepertinya dianggap sebagai hal yang biasa di negeri ini, perbincangan pun berlanjut pada soal penegakan aturan dan hukum, perilaku para pejabat, disiplin pegawai, kinerja aparat, soal gaji pegawai yang pas-pasan, hingga pro-kontra tudingan bupati yang sok bersih dan munafik terutama pada bulan-bulan pertama ia mengeluarkan aturan dan kebijakan melawan arus di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Solok.

Anda memulai dari mana dan sejak kapan?


Sejak tahun 1995 saya sudah punya komitmen untuk menginginkan sistem pemerintahan yang lebih baik. Saya memulai dengan membuat aturan: kontraktor tak boleh bertemu saya. Karena sebelumnya kedatangan kontraktor untuk minta proyek dan mengiming-imingi uang. Saya tegaskan agar mereka mengikuti prosedur. Jangan coba- coba beri saya uang. Kalau prosedur yang jadi penghalang, saya akan benahi bagaimana agar pengusaha terlindungi. Perbaikan sistem harus dibarengi dengan komitmen.


Kedua, saya membenahi soal perizinan. Biasanya, masing-masing bidang mengeluarkan izin sendiri dan sulit menghindari terjadinya "beri memberi". Ini saya pangkas. Saya buat sistem pelayanan satu pintu plus. Tarif perizinan dicantumkan secara terbuka dan kapan harus selesai. Untuk mengurus izin masyarakat pun diberi kemudahan, melalui pos. Jadi, masyarakat tak perlu datang dan mengeluarkan uang yang banyak, hanya membayar Rp 2.000 biaya pos. Kerja sama dengan pihak Pos dan Giro Oktober 1998. Tahun 2001 pelayanan satu pintu plus ini dapat penghargaan nasional, Citra Pelayanan Prima, yang diserahkan Presiden.
Ketiga, soal proyek. Soal proyek tak perlu harus sampai ke bupati, cukup sampai di tingkat pimpinan proyek (pimpro). Pimpro yang melaporkan dan bertanggung jawab. Soal keuangan, tidak bayar cash, tetapi melalui giro. Ini secara psikologis mengurangi pemberian, apalagi kita selalu gaungkan tidak boleh memberi dan menerima.
Keempat, tahun 2003 kita lanjutkan dengan integrity pact, kesepakatan kejujuran dalam menjalankan roda pemerintahan. Sekaligus kesepakatan untuk tidak memberi dan menerima yang bersifat ilegal, dan panggilan hati nurani untuk tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kesepakatan untuk membangun harkat dan martabat serta kejujuran aparatur. Ini saya lakukan sepulang saya dari Korea setelah diundang untuk Kongres Antikorupsi.
Lalu, saya buat kebijakan meniadakan honor dan membuat tunjangan daerah. Karena selama ini berkembang ungkapan "meja mata air" dan "meja air mata", pekerjaan yang bergelimang honor dan kering dengan honor. Padahal, yang mereka kerjakan adalah pekerjaan fungsional mereka, tugas pokoknya. Tahun 2004 berhasil dikumpulkan uang honor itu sebesar Rp 14,5 miliar.
Sebanyak 5.000 guru dari 6.200 pegawai negeri sipil di Kabupaten Solok selama ini tak pernah menikmati bagian honor yang mencapai Rp 14,5 miliar itu karena jarang dilibatkan dalam berbagai kepanitiaan. Ukuran besaran honor seseorang pun tak ada aturannya. Ini jelas tidak adil. Bagi instansi yang banyak proyek akan banyak mendapat honor sehingga ini tidak profesional karena banyak panitia yang tidak bekerja. Ini terjadi di seluruh Indonesia dan seluruh instansi.
Dengan kebijakan tunjangan daerah, yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh pegawai, semua pegawai dapat bagian dan itu lebih besar pula dari tunjangan struktural. Misalnya, sekda itu eselon dua, tunjangan struktural dari negara diatur bahwa ia dapat Rp 2,5 juta per bulan. Resmi, di mana pun di Indonesia. Tetapi, dari tunjangan daerah sekda dapat Rp 3,5 juta sehingga ia terima Rp 6 juta per bulan tambah gaji pokok Rp 1,5 juta. Ini sudah cukup untuk tidak melakukan korupsi sebab semua fasilitas ditanggung negara, mulai dari mobil dinas, rumah dinas, listrik, telepon, dan minyak mobil. Tunjangan daerah paling kecil saya berikan Rp 150.000 per bulan.
Kita sekarang berpikiran berapa gaji yang layak itu sehingga jangan ada macam-macam lagi. Jika masih ada uang pemda, misalnya, honor Rp 14,5 miliar itu akan saya cukupkan menjadi Rp 20 miliar sehingga saya bisa memberikan prioritas peningkatan kesejahteraan pada mereka yang level bawah, seperti guru-guru. Sebenarnya, menurut saya, gaji pegawai harus dirasionalkan.
Apakah gebrakan mendadak itu tidak berpengaruh terhadap kinerja staf?
Kinerja malah meningkat. Tunjangan daerah adalah untuk kehadiran 25 hari kerja. Kalau tidak datang satu hari, tunjangan daerah dipotong sebesar 4 persen, tak hadir dua hari 8 persen dipotong, tak hadir 3 hari dipotong 12 persen. Yang paling efektif harus dikaitkan dengan kinerja, harus ada standar kerja individual. Sekarang, rajin, malas, bodoh, dan pintar, gaji sama saja diterima. Standar kerja individual belum jalan. Pada suatu saat, saya yakin di pemerintahan hal seperti akan jalan sehingga motivasi PNS untuk bekerja sungguh-sungguh.
Pernah Anda ditawari uang selama masa jabatan?
O, sering. Silakan cek ke banyak orang, tahu mereka siapa yang pernah mendatangi saya dan berupaya hendak memberi saya uang. Ada pengusaha yang hendak memberi saya uang cash ratusan juta rupiah karena mendapat proyek. Selama ini, kata pengusaha itu, tak ada pejabat yang tak lewat.
Lantas menolaknya?
Saya minta maaf saja. Ada pula kepala dinas yang hendak memberi saya telepon genggam, malah saya umumkan ke khalayak. Dimuat koran lokal sehingga membuat yang lain menjadi kapok.
Agar penindakan efektif, setiap pejabat atau staf yang melanggar selalu diumumkan ke publik. Hingga kini, ia mengakui sudah memecat 10 stafnya karena terbukti melakukan pelanggaran berat. Di samping itu, ada 68 orang yang di-"non-job"-kan dan 23 orang lain diturunkan pangkatnya.
Siapa yang paling Anda kagumi?
Ada tiga sosok yang menjadi figur idola saya, yakni Nabi Muhammad, kedua orangtua, dan Bung Hatta.
Sebagai orang beragama Islam, saya kagum pribadi dan cara-cara nabi memimpin umat. Siapa pun tidak akan bisa menyamainya. Sebagai umatnya, kita bisa mencontoh dan meneladani. Begitu pula tentang kedua orangtua saya, ia taat beragama dan selalu mengingatkan bahwa kita ini hidup tetap akan mati. Dan, setelah mati nanti, apa yang kita kerjakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Tentang Bung Hatta…, saya betul-betul sangat kagum dengan beliau. Ini bukan karena saya mendapat Bung Hatta Award, tetapi kekaguman ini sudah terpatri sejak saya masih remaja. Rasa kagum ini makin bertambah kental lagi setelah saya melahap hampir semua buku-buku yang ditulis Bung Hatta. Melalui buku-buku itu, saya temukan jati diri Bung Hatta. Ternyata ia seorang pemimpin yang bijak, sangat agamis, serta memiliki komitmen dan keberpihakan yang tegas terhadap rakyat.
Selama jadi bupati, apakah yang paling membanggakan Anda?
Ada tiga hal yang membuat saya bangga. Yakni, pertama hampir sepuluh tahun jadi bupati syukur alhamdulillah daerah Solok yang saya pimpin ternyata aman tenteram, tidak sekalipun ada bencana yang menimpa masyarakat dan daerah ini. Bagi saya, ini jadi pertanda bahwa apa yang saya kerjakan sangat diridai Allah.
Kedua, sejak awal masa jabatan bupati tahun 1995 sampai sekarang, alhamdulillah saya belum pernah sekali pun didatangi demonstran, pengunjuk rasa yang mempersoalkan kebijakan saya. Padahal, siapa pun tahu sejak reformasi sampai sekarang siapa pun bisa menggugat, memprotes, dan menghujat bupati atau pejabat.
Ketiga, yang membanggakan saya adalah selama menjadi bupati saya berhasil "memerdekakan" dua desa yang dihuni hampir 500-an jiwa. Dua desa ini, yaitu Desa Sariak Bayang dan Lubuak Tareh, sangat terisolasi dari luar. Tidak ada jalan akses dari dan ke desa itu ke kota kecamatan, kecuali jalan setapak yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki selama tiga hari tiga malam dan itu saya alami sendiri. Begitu saya temukan kenyataan itu ketika berkunjung kedua desa tersebut, saya sempat menangis melihat kenyataan bahwa ternyata ada warga saya yang hidupnya seperti suku terasing, jauh dari dunia luar.
Akhirnya saya putuskan, dua desa itu harus dipindahkan ke lokasi lain yang lebih subur dan gampang diakses. Karena sekitar 140 keluarga yang menghuni dua desa tersebut merupakan keluarga miskin, maka di permukiman baru mereka saya bangunkan rumah tinggal secara gratis. Jalan akses beraspal juga dibangun Pemkab Solok, di dua desa baru itu juga dibangunkan berbagai fasilitas umum, ada pasar, penerangan listrik ke rumah-rumah, tempat ibadah, sekolah, air bersih, tempat pelayanan kesehatan, dan lahan usaha pertanian untuk menopang hidup warga di sana.
Adakah sesuatu cobaan hidup yang Anda rasakan selama jadi bupati?
Oh… ada, cobaan hidup yang paling berat adalah ketika saya sempat "hilang" selama lima hari di hutan belantara ketika napak tilas perjuangan dari Lubuak Minturun (Kota Padang) hingga ke Paninggahan (Kabupaten Solok) tahun 1999. Nyasar di hutan ini saya anggap sebagai cobaan hidup karena bersama saya ada 116 orang lainnya. Mereka ada yang pelajar, mahasiswa, polisi, dan juga pejabat kabupaten.
Jangankan Tim SAR yang mencari menggunakan helikopter, saya di hutan yang tersesat ketika itu pun betul-betul cemas dan sangat tertekan. Bayangkan, kalau ada di antara peserta napak tilas yang meninggal, wah… saya sudah pasti disalahkan dan dimintai tanggung jawab. Tetapi, bersyukur karena saya dan rombongan ditemukan tim pencari. Inilah cobaan paling berat selama jadi Bupati Solok, yang tidak akan saya lupakan sepanjang hidup saya"
Setelah jadi bupati, obsesi dan target ke depan?

Saya akan jalani hidup ini seperti air mengalir. Tidak ada target saya, habis ini harus menjadi ini, jadi itu dan lainnya. Tetapi, itu bukan berarti saya apatis atau pesimistis. Ya..., apa adanya lah….